Pengajian Potehi, Oleh: Dahlan Iskan

Senin 17-01-2022,08:50 WIB
Reporter : Sari Apriyanti
Editor : Sari Apriyanti

TEMANYA ringan. Saya pun oke. Kalau pengajian itu membahas fikih, hadis, tafsir, atau tauhid, saya pasti menolak: belum kelas saya jadi ustaz. Permintaan itu datang dari ibu-ibu di Eropa: Majelis Pengajian Prancis (MPP). Secara online.

Tema yang dimintakan ke saya: ”Bagaimana bergaul secara luas tanpa mengganggu keimanan”. Gampang.Hanya ada satu masalah teknis: jam yang ditentukan itu beriringan dengan acara saya di Kelenteng Gudo, luar Kota Jombang.

Ada diskusi tahun baru Imlek di kelenteng itu.  Saya pun cari akal: agar dua-duanya bisa jalan. Saya hubungi pengurus kelenteng: adakah wifi di Kelenteng Gudo. Lalu: apakah saya bisa memberikan pengajian Islam di salah satu ruang di kelenteng itu. ”Dengan senang hati,” ujar Ketua Kelenteng Gudo Toni Harsono.  Toni itu menyenangkan. Kalau Anda bertemu Toni, tidak akan menyangka ia itu Tionghoa. Kulitnya seperti saya. Matanya seperti saya. Bedanya: saya tua, ia masih muda. Toni sudah tergolong langka. Ia jadi ketua kelenteng karena ayahnya dulu pegawai di kelenteng itu.Yang unik: Toni adalah juga dalang wayang potehi. ”Sebenarnya ayah melarang saya jadi dalang,” katanya.  ”Nasib dalang potehi itu seperti wayang potehi,” kata Toni. Nama Tionghoa-nya: Tok Hok Lay. Tokoh wayang potehi itu, katanya, terlihat gagah kalau lagi dimainkan di atas panggung. Apalagi kalau tokoh itu raja. Atau panglima perang.

Namun, begitu turun panggung, langsung menjadi seperti pakaian lusuh.  Wayang potehi memang terbuat dari kain. Hanya kepala dan leher yang dari benda keras. Juga, sepatu dan sedikit kaki bagian bawah. Selebihnya hanya kain: yang motifnya sesuai dengan perannya.

Bahwa di panggung wayang kain itu bisa terlihat gagah karena ada tangan dalang di dalamnya. Jari telunjuk dimasukkan ke bagian leher. Tiga jari selebihnya di bagian tangan kanan. Jempol dimasukkan bagian tangan kiri wayang. Toni setuju dengan pendapat bapaknya itu. Sang bapak sudah membuktikan: ia sendiri juga dalang potehi. Bahkan, bapaknya bapak juga dalang potehi. Namun, Toni tetap jadi dalang potehi –generasi ketiga. Di seluruh Jatim tinggal ada empat saja dalang potehi.Bahkan, Toni bukan sekadar dalang. Ia bikin museum potehi –satu-satunya di Indonesia. Museum itu ia bangun di sebelah kelenteng Gudo.

Ia beli tanah di situ. Ia amankan museum itu dengan dua lapis pintu besi. Ia pun membeli lemari besi–yang di zaman dulu dipakai menyimpan uang, emas, dan sertifikat tanah itu– untuk menyimpan wayang kunonya. Juga untuk buku kuno tentang potehi. Buku tebal tersebut unik: ditulis dalam huruf Jawa. Lengkap dengan gambar tokoh-tokoh utama wayang potehi. ”Silakan pakai ruang saya ini,” ujar Toni. ”Saya akan banyak bicara tentang Islam di pengajian ini,” kata saya setengah minta kerelaannya.  ”Tentu. Kan, pengajian...,” katanya sambil tersenyum. Saya pun memberi tahu pengurus MPP: bahwa lokasi saya memberikan pengajian itu di sebuah Kelenteng Gudo. ”Kebetulan, cocok dengan tema pengajian,” ujar Dini Kusmana, ketua MPP yang jadi moderator. Dini itu cantik sekali –lima ”i”. Jilbabnya rapat sempurna. Dia asli Ciamis. Ayahnyi seorang dokter ahli. Punya pesantren: di Saguling, Ciamis. Pesantren MD Fathahillah. Seorang ustaz dimintanya mengurus pesantren itu.Inspirasi tersebut dia peroleh dari Norwegia. Suatu saat Dini diminta mengisi pengajian kelompok ibu-ibu di Norwegia.

Dia jadi ustazah. ”Kenapa saya tidak bikin juga di Prancis,” katanyi. Wajah Dini sangat camera face: dia memang pernah bekerja di beberapa stasiun TV di Jakarta. Kini Dini memiliki media online –sambil jadi ibu rumah tangga di Prancis Selatan. Suami Dini Prancis asli –kulit putih. Pasangan itu punya dua anak: adil –satu lahir di Bandung, satunya lagi di Prancis.  ”Di mana pertama kenal suami?”  ”Kenal sejak SMA,” ujar Dini. ”Anda sekolah SMA di Prancis?” tanya saya. ”Ia yang sekolah SMA di Indonesia. Pertukaran pelajar. Setahun tinggal di rumah ayah saya,” ujar Dini. Itulah cinta pertama Dini. Juga cinta pertama sang suami. Cinta yang sampai dibawa ke mana pun pergi. Sampai kini.Maka, Dini-lah yang mendirikan kelompok pengajian itu. Empat tahun lalu. Seminggu sekali –tiap Rabu pagi waktu Eropa. Awalnya, ustaz di pesantren ayahnya itu yang mengisi.

Sekalian mengobati rindu di kampung halaman. Lama-lama anggotanya meluas hampir ke seluruh negara Eropa. Yang ikut pengajian hari itu ada juga yang dari Belanda dan Makedonia. Juga dari Inggris.  Ibu yang dari Makedonia itu pintar membuat pantun dan puisi. Dia membacakan pantun dadakan tentang saya: membuat saya tersipu-sipu. Namanyi: Liem Siagian. ADVERTISEMENT ”Anda lahir di mana, di Sumut?”  tanya saya. ”Saya lahir di Jember, Jatim,” jawabnyi. ”Di Jember tidak ada marga Siagian....” ”Ayah saya dari Balige.””Kenapa pakai nama depan Liem?” ”Ibu saya marga Liem.” ”Lulus SMA di Jember?” ”Di Probolinggo.”  ”Hahaha... Anda ini kacau sekali....” celetuk saya. ”Masih ada yang lebih kacau....” tukasnyi.

Tags :
Kategori :

Terkait