“Untuk apa, Adikku?” tanya Ki Karang Nio.
“Jika Adik telah mati, kuburkanlah bakoa dan ayam hirik ini bersama jasad Adik. Hanya itulah yang Adik miliki selain Kakak,” jawab Putri Serindang Bulan.
Setelah berpamitan kepada kakak-kakaknya, Ki Karang Nio dan Putri Serindang Bulan pun berangkat menuju ke hutan. Di sepanjang perjalanan, kedua kakak-beradik tersebut tidak pernah saling menyapa. Hati Putri Serindang Bulan diselimuti perasaan sedih, sedangkan Ki Karang Nio berpikir mencari cara agar adiknya bisa selamat. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun menemukan cara untuk mengelabui kakaknya. Setibanya di tengah hutan, mereka pun berhenti di tepi Sungai Air Ketahun.
“Adikku, sepertinya kita sudah terlalu jauh berjalan. Sebaiknya kita berhenti di sini saja!” Seru Ki Karang Nio.
“Baiklah, Kak! Silahkan laksanakan tugas Kakak!” seru Puri Serindang Bulan.
“Tidak, Adikku! Aku tidak akan sampai hati membunuh adik kandungku sendiri,” kata Ki Karang Nio.
“Lakukanlah, Kak! Adik rela mati demi keselamatan Kakak. Jika Kakak tidak membunuh Adik, nyawa Kakak akan terancam. Saudara-saudara kita di istana pasti akan membunuh Kakak,” desak Putri Serindang Bulan.
Akhirnya, Ki Karang Nio memberitahukan rencananya kepada Putri Serindang Bulan bahwa ia akan mengelabui kakak-kakaknya.
“Aku tidak akan membunuhmu, Adikku! Aku akan membuatkanmu sebuah rakit. Dengan rakit itu, kamu ikuti aliran Sungai Air Ketahun ini. Kakak berharap ada orang yang menolongmu,” ujar Ki Karang Nio.
“Tapi, bukankah Kakak harus membawa pulang setabung darah Adik untuk dijadikan bukti kepada mereka?” tanya Putri Serindang Bulan.
“Benar, Adikku! Jika kamu tidak keberatan, bolehkah aku menyayat tanganmu? Aku akan mengambil sedikit darahmu dan mencampurkannya dengan darah binatang,” pinta Ki Karang Nio.
“Silahkan, Kak! Kakak pun boleh menyembelih ayam hirik ini untuk diambil darahnya!” seru Putri Serindang Bulan.
Dengan berat hati, Ki Karang Nio pun menyayat tangan Putri Serindang Bulan. Kemudian, darah yang keluar dari tangan adiknya tersebut ia campurkan dengan darah ayam hirik yang telah disembelih sebelumnya, lalu ia masukkan ke dalam tabung. Setelah itu, ia menyuruh Serindang Bulan untuk naik ke rakit yang sudah disiapkan.
“Pergilah, Adikku! Hati-hatilah di jalan! Semoga Tuhan Yang Mahakuasa senatiasa melindungimu!” seru Ki Karang Nio.
“Terima kasih, Kak! Semoga kita dapat bertemu kembali,” ucap Putri Serindang Bulan sambil meneteskan air mata.
Ki Karang Nio pun tidak mampu membendung air matanya. Ia tidak tega melihat adik yang sangat disayanginya itu hanyut terbawa aliran air sungai. Setelah Putri Serindang Bulan hilang dari pandangannya, Ki Karang Nio pun bergegas kembali ke istana untuk melapor kepada kakak-kakaknya bahwa ia telah melaksanakan tugasnya. Kakak-kakaknya pun mempercayainya dengan bukti berupa tabung yang berisi darah tersebut.