Sejahtera (PKS) Mulyanto menyatakan pihaknya menolak skema power wheeling dimasukan dalam RUU EBET, karena tidak sekadar mengatur soal sewa jaringan transmisi PLN oleh swasta.
Ada implikasi yang krusial, PLN menjadi tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga dalam sistem single buyer and single seller (SBSS), tapi membentuk mul5 buyer and mul5 seller system (MBMS)“ ungkap Abrar mengutip pernyataan Mulyanto dari sejumlah media.
BACA JUGA:Pohon Tumbang Putuskan Jaringan PLN
BACA JUGA:Tanggapi Keluhan Warga PLN Uprighting Jaringan di BU
PRESS RELEASE--
Penolakan yang sama ungkap Abrar juga disampaikan, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi. Menurut Fahmy, kata Abrar, skema power wheeling berpotensi menambah beban APBN dan merugikan negara. Alasannya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan nonorganik hingga 50 persen. Penurunan ini tidak hanya memperbesar kelebihan pasokan PLN, tapi juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Dampaknya dapat membengkakkan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN, sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian. Terhadap rakyat, penetapan tarif listrik yang diserahkan kepada mekanisme pasar akan membuat tarif listrik bergantung demand and suplly.
BACA JUGA:2 Trafo PLN Malayang, Bukan Orang Sembarangan
BACA JUGA:Trafo Listrik Milik PLN di Sikat Maling
Terhadap masih adanya kontra soal power wheeling tersebut, Abrar menyatakan, pembahasan RUU EBET hendaknya dilanjutkan pada masa presiden periode 2024-2029 mendatang. “Jadi kita masih ada waktu untuk melakukan pembahasannya, sehingga
tidak ada yang dirugikan. Jangan hanya ingin memaksakan “syahwat poliOk” dipaksakan harus selesai sebelum periode presiden sekarang yang akan berakhir pada Oktober mendatang. Kasihan rakyat dan akan menjadi beban negara nantinya,” ungkap Abrar.