DIGITAL RUPIAH VS BITCOIN, Oleh: Micky Ardyanto Putra Lukman
BIODATA PENULIS
Nama : Micky Ardyanto Putra Lukman, S.E., M.M.
Tempat/Tanggal/Lahir : Jakarta, 27 Oktober 1980
Pendidikan : S2 Magister Managemen, Universitas Gadjah Mada
Pekerjaan : ASN Kementerian Keuangan
Pernahkan anda mendengar mengenai bitcoin? Sebuah mata uang digital yang sedang ramai dibicarakan banyak orang. Saat penulis Menyusun tulisan ini nilai 1 Bitcoin (BTC) adalah sebesar Rp. 885 juta rupiah (Kurs Coingecko), padahal di tahun 2010 harga 1 BTC hanya Rp. 14 ribu rupiah.
Berarti dalam rentang waktu 11 tahun terjadi kenaikan luar biasa sebesar 63 ribu kali lipat atau 6,3 juta persen (jika kita menginvestasikan uang 100 ribu rupiah di tahun 2010 maka saat ini uang tersebut akan tumbuh menjadi 6,3 miliar rupiah). Ketika BTC baru diterbitkan oleh penciptanya Satoshi Nakamoto di tahun 2008, nilai BTC adalah nol atau tidak bernilai karena tidak adanya aset penjamin yang menentukan nilai BTC. Pertanyaannya mengapa orang di seluruh dunia mau membeli aset tanpa ada aset jaminan ini? Jawabannya sederhananya adalah kepercayaan orang yang membeli terhadap BTC itu sendiri.
Dalam suatu negara terdapat dua kebijakan Ekonomi, yaitu kebijakan fiskal oleh pemerintah (pajak dan belanja negara) dan kebijakan moneter oleh bank sentral (suku bunga bank dan jumlah uang beredar). Sesuai pembahasan kita kali ini yaitu mata uang kita fokus pada kebijakan moneter saja khususnya pada kebijakan jumlah uang beredar.
Bank Sentral suatu negara misal di Indonesia adalah Bank Indonesia akan menerbitkan rupiah baru atau menarik rupiah lama untuk mengontrol uang lama tanpa ada aset jaminan juga seperti BTC (uang kertas tanpa aset jaminan tersebut disebut fiat currency).
Fungsi utama mata uang itu adalah sebagai alat tukar dan bukan lah suatu aset investasi yang nilainya terus naik, oleh karena itu Bank Sentral di dunia menerbitkan uang tanpa aset jaminan tersebut dalam rangka menstabilkan proses jual beli atau ekonomi di negara nya masing-masing.
Dasar dari fiat currency tersebut adalah tingkat kepercayaan ekonomi negara tersebut, seperti contoh Amerika Serikat dan Indonesia yang sama-sama merupakan Anggota G-20 yang merupakan 20 Negara dengan Ekonomi terkuat di dunia sebagai penjamin mata uang USD dan Rupiah.
Para pemegang mata uang tersebut akan merasa percaya dan nyaman karena kedua mata uang tersebut dijamin oleh Negara dengan Ekonomi Raksasa tersebut.
Sekarang bagaimana dengan BTC? Sama-sama tidak ada aset jaminan dibalik BTC namun juga tidak ada negara penjamin untuk BTC tersebut, lalu mengapa orang masih terus percaya (trust) membeli BTC hingga harganya naik 6,3 juta persen? Jawabannya ada pada suatu teknologi yang disebut blockchain.
Teknologi ini memungkinkan suatu data disimpan dan diproses tidak hanya pada satu namun banyak server data, dan masing-masing pemilik server tersebut tidak dapat mengubah atau memanipulasi data tersebut. Mungkin pembahasan mengenai teknologi blockchain ini akan dibahas di lain kesempatan karena akan sangat panjang jika dibahas detail pada kesempatan kali ini (Bitcoin hanyalah salah satu dari sekitar 6000 Cryptocurrency, dan Cryptocurrency hanyalah sebagian kecil dari aplikasi teknologi blockchain).
Sederhananya dengan adanya teknologi ini maka tercipta suatu proses penyimpanan dan pembaharuan data yang transparan, dapat diakses siapa saja, tidak dikuasai oleh satu pihak namun banyak pihak, namun tidak ada satu pihak penguasa data tersebut yang dapat memanipulasi/ mengubah data tersebut). Pemahaman lebih sederhana nya seperti kita menyerahkan manajemen suatu pengelolaan data kepada suatu Sistem yang kuat tidak rentan dimanipulasi dan di retas oleh para hacker/ cracker.
Selain kehandalan dalam sistem nya, dari sisi jumlah (supply/ penawaran) BTC juga terbatas (hanya akan ada 21 juta coin BTC). Sedangkan dari sisi utilitas juga sudah banyak mulai digunakan oleh masyarakat dunia (Bahkan El Salvador menggunakan BTC sebagai mata uang resmi negaranya), hal ini menimbulkan demand/ permintaan yang tinggi dari BTC. Sesuai hukum ekonomi, Ketika penawaran terbatas, namun permintaan meningkat maka nilai dari suatu barang akan naik, hal ini yang memicu harga BTC naik hingga 6,3 juta persen.
Perbedaan antara Rupiah (fiat currency) dan BTC adalah pada siapa penguasa data transaksinya, pada Rupiah bersifat sentralisasi dimana data dikuasai oleh satu entitas yaitu Bank Indonesia, sedangkan BTC bersifat desentralisasi dimana data berada dan di proses pada komputer para penambang BTC (penambang memberikan sumber daya komputernya seperti CPU, VGA dan listrik untuk mendukung jalannya sistem BTC dengan mendapatkan imbalan berupa koin BTC itu sendiri).
Pada saat tulisan ini dibuat terdapat lebih dari satu juta penambang BTC di dunia. Menurut hasil riset CBinsights dikatakan bahwa terdapat sekitar 58 industri yang akan mengalami disrupsi karena adanya teknologi blockchain dan pemerintah merupakan salah satu industri yang terdampak. Karena hal tersebut telah banyak bank sentral dunia yang berencana untuk menerbitkan cryptocurrency (Central Bank Digital Currency atau CBDC) sendiri yang menggunakan teknologi blockchain seperti BTC, salah satunya adalah di Indonesia (Digital Rupiah). Berdasarkan Laporan oleh Bank for International Settlement (BIS) terdapat 3 model CBDC, yaitu:
- Indirect CBDC (Tagihan ke Bank Komersial), sama seperti sistem saat ini dimana bank sentral hanya menangani transaksi dengan bank komersial, sedangkan bank komersial yang menangani transaksi dengan masyarakat. Rekening dan KYC (Know Your Customer) berada di Bank Komersial.
- Direct CBDC (Tagihan ke Bank Sentral), sistem ini dapat mengancam industri perbankan komersial, karena pada system ini rekening dan KYC dapat berada langsung di bank sentral (contoh Budi membuka rekening di Bank Indonesia atas nama Budi misalnya).
- Hybrid CBDC (Tagihan ke Bank Sentral, namun Bank Komersial yang melakukan pembayaran), pada system ini Rekening berada di Bank Sentral, namun KYC dan pembayaran dilakukan oleh Bank Komersial. Model ini yang diterapkan oleh PBoC dalam menerbitkan Digital Yuan di Tiongkok.
CBDC tersebut menggunakan teknologi Blockchain seperti BTC, namun data mereka tersentralisasi di bank Sentral. Pada Cryptocurrency yang ada saat ini Sebagian ada juga yang tersentralisasi seperti contoh koin BNB dimana data mereka tersentralisasi di perusahaan Exchange Binance.
Menurut Moody's model Direct dan Hybrid dapat menimbulkan disrupsi pada dunia perbankan komersial karena dapat Dana Pihak Ketiga pada bank komersial akan turun. Pada era Revolusi Industri 4.0 seperti saat ini perubahan itu adalah sesuatu yang tidak dapat kita hindari, perubahan-perubahan tersebut pasti akan terjadi dalam waktu dekat.
Sekarang pertanyaannya bagaimana nasib BTC ketika banyak negara telah menerapkan CBDC mereka masing-masing? Penulis memprediksi bahwa BTC pada akhirnya hanya akan menjadi aset investasi/ store of value seperti emas (karena supply yang sangat teratas dan demand yang tinggi, selain system yang aman dan terjamin), sedangkan CBDC yang akan menjadi mata uang atau alat tukar dunia terbaik.
Sedangkan teknologi blockchain akan mendisrupsi lebih banyak lagi industry. Sebagai contoh kecil saat ini telah lahir konsep Play to Earn (Bermain Game Online untuk Mendapatkan Penghasilan) dari teknologi ini, hal ini dapat membantu dalam hal masalah pengangguran di dunia. Mungkin pada kesempatan berikutnya penulis akan membahas terkait hal ini.
Ingin Berlangganan Koran? Hubungi Whatsapp +628 2178 6396 51
IKUTI JUGA AKUN MEDSOS CE DIBAWAH INI:
Sumber: