Generasi Z Jepang Memilih 'Quiet Quitting' di Tempat Kerja, Bagaimana dengan Indonesia?

Generasi Z Jepang Memilih 'Quiet Quitting' di Tempat Kerja, Bagaimana dengan Indonesia?

Generasi Z Jepang Memilih 'Quiet Quitting' di Tempat Kerja--

CURUPEKSPRESS.COM - Fenomena "quiet quitting" semakin menjadi tren di kalangan karyawan muda Generasi Z di Jepang. Alih-alih mengundurkan diri, mereka memilih untuk hanya menjalankan tugas pokok tanpa terlibat lebih jauh dalam pekerjaan di luar tanggung jawabnya. Sikap ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan budaya kerja yang menuntut komitmen dan kerja keras berlebihan tanpa kompensasi yang memadai. Dengan kata lain, mereka menjaga batasan agar kehidupan pribadi dan profesional tetap seimbang. Kata kunci utama dalam artikel ini adalah “quiet quitting,” yang menyebar alami dalam pembahasan terkait budaya kerja dan perilaku karyawan muda.

Survei terbaru dari Mynavi mengungkapkan sekitar 45% pekerja penuh waktu di Jepang mengidentifikasi diri mereka sebagai “quiet quitters,” dengan porsi terbesar ditemukan di usia 20-an yang mencapai hampir 47%. Angka ini menunjukkan pergeseran signifikan dalam pola pikir generasi muda yang mulai menolak budaya kerja keras yang kerap mengorbankan kesehatan mental dan fisik. Sikap mereka menunjukkan kecenderungan untuk memprioritaskan kualitas hidup di luar pekerjaan dan menolak eksploitasi tenaga kerja yang tidak berkeadilan.

BACA JUGA:Kanker Kolorektal! Meningkatnya Kasus di Kalangan Gen Z dan Gejalanya

BACA JUGA:Tren 'Soft Saving': Menabung dengan Gaya Ala Gen Z yang Tetap Menyenangkan

 

Budaya kerja Jepang selama ini dikenal dengan istilah “karoshi,” yaitu kematian karena kelelahan kerja. Dalam konteks ini, “quiet quitting” menjadi bentuk perlindungan diri yang dipilih generasi muda agar tidak jatuh dalam jebakan kerja berlebihan. Mereka lebih memilih mengerjakan apa yang menjadi tugas mereka tanpa harus selalu mengambil tanggung jawab ekstra atau lembur yang tidak dibayar. Ini sekaligus menjadi sinyal penting bagi perusahaan agar meninjau kembali pola manajemen sumber daya manusia yang diterapkan.

Namun, tren ini memicu kekhawatiran dari kalangan pengusaha. Mereka takut penurunan motivasi kerja ini bisa berdampak negatif pada produktivitas dan keuntungan perusahaan. Sebagian manajemen mulai mencari solusi dengan menawarkan fleksibilitas jam kerja, lingkungan kerja yang lebih sehat, dan program kesejahteraan karyawan demi menarik kembali antusiasme. Upaya ini bertujuan menciptakan keseimbangan antara kebutuhan perusahaan dan karyawan muda yang mengedepankan kesejahteraan.

BACA JUGA:Semakin Populer di Kalangan Gen Z, Ini Manfaat Shampoo Non SLS untuk Kesehatan Kulit Kepala

BACA JUGA:Gen Z Harus Tahu! Ini Efek Stres Jangka Panjang pada Kesehatan

 

Para ahli mengingatkan pentingnya perusahaan memahami kebutuhan dan nilai-nilai generasi muda. Membangun budaya kerja yang menghargai kontribusi karyawan tanpa menuntut pengorbanan berlebihan adalah kunci agar “quiet quitting” tidak menjadi fenomena merusak. Investasi pada kesejahteraan, pengembangan karier, dan pengakuan karyawan diyakini dapat memperbaiki hubungan industrial sekaligus meningkatkan loyalitas karyawan jangka panjang.

Bagaimana dengan di Indonesia? Fenomena serupa mulai muncul, khususnya di kalangan pekerja muda yang semakin sadar akan pentingnya keseimbangan hidup dan kerja. Meski belum sepopuler di Jepang, kasus ketidakpuasan pekerja akibat beban kerja yang tidak proporsional juga meningkat. Perusahaan di Indonesia perlu belajar dari tren ini dengan menyesuaikan pola kerja dan memperhatikan kesejahteraan karyawan agar tidak kehilangan talenta terbaiknya. Perubahan budaya kerja yang lebih manusiawi menjadi keharusan agar produktivitas tetap optimal tanpa mengorbankan kualitas hidup karyawan.

BACA JUGA:Ini 5 Perbedaan Gen Z dan Generasi Milenial di Tempat Kerja Salah Satunya Cara Berkomunikasinya

BACA JUGA:Jangan Sampai Salah! Berikut 5 Jurusan Kuliah yang Cocok untuk Gen Z

Sumber: