Monyet dan Beruang Serang Warga di Daerah Ini

Monyet dan Beruang Serang Warga di Daerah Ini

IST/CE Pelepasliaran satwa liar oleh BKSDA. --

REJANG LEBONG, CURUPEKSPRESS.COM - Sepanjang tahun 2022 ini, terjadi 2 kali konflik antara manusia dengan satwa liar di Kabupaten Rejang Lebong. 

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi Konservasi Wilayah l Bengkulu menyebut, 2 peristiwa itu antara lain perseteruan dengan beruang madu dan monyet ekor panjang.

"Berdasarkan data yang kami miliki, konflik yang terjadi antara manusia dengan satwa liar sudah 2 kali. Pertama dengan beruang madu dan kedua dengan monyet ekor panjang," ungkap Kanit Polisi Hutan (Polhut) BKSDA Seksi Konservasi Wilayah l Bengkulu, Reza Alfitriansyah.

Dikatakan Reza, untuk konflik yang terjadi dengan beruang madu tepatnya di Desa Sumber Urip Kecamatan Selupu Rejang.

BACA JUGA:Monyet Bikin Geger! Ini Ceritanya...

BACA JUGA:Rumahnya Diserang Monyet Liar, Warga Rejang Lebong Ini Sampai Tak Berani Keluar Rumah

Kemudian konflik dengan beruk (Macaca Nemestrina) yang belum lama ini terjadi di Desa Sambirejo Kecamatan Selupu Rejang.

Lanjutnya, jika dihimpun seluruh kabupaten yang dibawahi oleh BKSDA Seksi Konservasi Wilayah I, secara keseluruhan konflik dengan satwa liar terjadi sebanyak 26 kali.

Diantaranya, 13 kali konflik dengan harimau paling sering terjadi di Kabupaten Mukomuko tepatnya di Kecamatan Malin Deman, 5 kali konflik dengan beruang madu terjadi di Bengkulu Utara dan Rejang Lebong, 5 kali konflik dengan buaya muara, 1 kali konflik dengan gajah, 1 kali konflik dengan ular sanca dan 1 kali konflik dengan beruk.

"Total seluruhnya 27 kali, terbanyak konflik manusia dengan harimau. Dimana rata-rata konflik itu terjadi di luar wilayah konservasi BKSDA," terang Reza.

BACA JUGA:Pemkab Siapkan Anggaran Segini untuk Gaji PPPK di Kepahiang ?

BACA JUGA:6 Poin Ini Dilarang Saat Tahun Baru

Reza menuturkan, kejadian konflik manusia dengan satwa liar ini bisa terjadi karena adanya penyempitan habitat mereka. Akibat adanya pembukaan lahan pertanian dalam kawasan konservasi baik dalam hutan produksi terbatas (HPT) dan areal penggunaan lain (APL) yang kini dijadikan perkebunan sawit.

"Sebenarnya agak disayangkan juga. Karena efek atau dampak yang akhirnya terjadi ya terjadilah konflik satwa liar dengan manusia itu sendiri," katanya.

Meski demikian dirinya menambahkan, selagi bisa menyelamatkan diri akan jauh lebih baik ketimbang menyakiti satwa liar yang sudah dilindungi Undang-undang (UU).

"Kemudian juga diimbau kepada masyarakat untuk selalu menjaga kawasan hutan yang sudah semestinya menjadi tempat tinggal bagi satwa liar," imbuhnya. 

Sumber: