Ada 105 Kasus Kekerasan Asusila, Periode Januari – Juni
BENGKULU, CE - Pada peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tahun ini, tercatat masus asusila yang korbannya anak-anak di bawah umur sepanjang tahun 2020 periode Januari-Juni mencapai 105 perkara. Seperti yang di katakan Direktur Reskrimum Polda Bengkulu, Kombes Pol. Teddy Suhendyawan, S.IK didampingi Kanit PPA AKP. Nurul Huda. Jumlah tersebut merupakan kasus tersebut ditangani Unit PPA Polda Bengkulu dan Polres jajaran se-Provinsi Bengkulu.
Teddi menuturkan, saat ini kasus yang ditangani Polda Bengkulu sebanyak 9 laporan dan terdapat selebihnya ditangani pihak Polers yang ada di Bengkulu. Dengan rincian, Polres Bengkulu 31 laporan, Polres Rejang Lebong 16 laporan, Polres Bengkulu Utara 9 laporan, Polres Bengkulu Selatan 6 laporan. Selanjutnya, Polres Kepahiang 5 laporan, Polres Seluma 8 laporan, Polres Lebong 5 laporan, Polres Kaur 5 laporan, Polres Mukomuko 4 laporan dan Polres Bengkulu Tengah (Benteng) sebanyak 8 laporan.
"Untuk kasus asusila tertinggi di Polres Bengkulu. Itu intinya kasus dengan jumlah terbanyak terdapat di Kota Bengkulu. Untuk korban yang kita terima itu adalah rata-rata anak di bawah umur baik anak perempuan maupun laki-laki," kata Teddy.
Teddy mengatakan, dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual pada anak di masa pandemi ini membuat orang tua harus ekstra awas dalam mengawasi anak-anak mereka. Kepada orang tua agar lebih mengawasi lagi anak-anaknya dari sisi pergaulannya sehari-hari. Dengan pengawasan intens tentunya akan dapat mencegah anak-anak dari tindak pidana asusila anak di bawah umur.
"Ini tentu menjadi PR bagi kita sebagai orang-orang, bahwa kasus kekerasan asulisa pada anak ini bukan hal baru. Jadi kita sangat mengimbau agar para orang tua dapat mengawasi anak mereka secara ketat lagi. Selain itu, di masa pandemi ini harus menjaga kekebalan tubuh dengan menaati protokol Covid-19," ujarnya.
Terpisah, anggota komisi I DPRD Provinsi Bengkulu, Sefty Yulisna mengatakan, hal tersebut berkaca pada kejadian-kejadian yang terjadi di Bengkulu secara beruntun terjadi di akhir tahun 2019 lalu. Seharus nya, para orang tua harus membatasi jam main anak yang tidak menimbulkan manfaat tersebut. Karena di khawatirkan akan menyebabkan anak menjadi liar dan bebas. Dengan artian lain harus ada perhatian khusus kepada mereka.
"Melihat kejadian-kejadian seperti itu tentunya sangat sedih, marah dan kecewa juga. Dan ini bukan hanya 1 atau 2 orang tapi dari survey dari beberapa tahun lalu saja yang saya dapati memang Bengkulu ini incesnya nomor 1," kata Sefty.
Ia menyebutkan, ternyata bukan hanya sekedar di desa ataupun di kawasan perkebunan. Tetapi yang baru-baru ini malah terjadi di perkotaan yang sering disebut kota religius. Tindakan kekerasan itupun diketahui langsung oleh satgas perlindungan anak dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) pada saat mereka sedang melakukan konseling bersama anak-anak.
"Mereka mengetahui pada saat mereka ingin melakukan konseling dan ternyata anak-anak itu bercerita kepada UPTD PPA," ujarnya.
Ia menginginkan, pemerintah daerah bisa mengambil langkah dan mencari solusi yang tepat agar hal serupa tidak kembali terulang di Bengkulu. Sekaligus meminta kepada OPD terkait dan para legislatif untuk duduk bersama untuk minimalisir kejadian yang sangat biadab ini.
"Selain kurangnya pemahaman terhadap agama, kejadian ini terjadi juga karena faktor ekonomi. Kondisi inilah yang perlu kita tahu penyebabnya. Kita juga minta agar Gubernur Bengkulu dapat memfasilitasi semua ini dan
kita duduk bersama untuk kita cari solusinya," pungkasnya. (CE2)
Sumber: