"Kamu masih ingat dengan Siti Hartinah, teman satu kelas adikmu, Sulardi, waktu di Wonogiri?" kata Ibu Prawiro.
Harto ternyata masih ingat dengan sosok Tien. Namun, dia tak yakin Tien mau menjadi istrinya. Keraguan itu karena Tien merupakan putri seorang bangsawan Jawa sementara dia hanyalah anak seorang petani.
"Apa dia akan mau? Apa orangtuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedana, pegawai Mangkunegaran," ungkap Harto dengan perasaan minder.
Ibu Prawiro mencoba membesarkan hati Harto. Dia kemudian berjanji mengurus semuanya, dengan jaminan kedekatannya dengan keluarga Kandjeng Pangeran Harjo (KPH) Soemoharjomo, ayah dari Tien. Pertemuan itu berujung pada pembicaraan mengenai penentuan hari pernikahan. Harto dan Tien kemudian menikah di Solo pada 26 Desember 1947.
Setelah pernikahan, seperti layaknya pasangan yang berprofesi tentara, perjalanan cinta Soeharto dan Hartinah diwarnai dengan hubungan jarak jauh karena Soeharto harus bertugas dan dinas di luar kota. Bahkan setelah seminggu pernikahan, Soeharto langsung ditugaskan ke Ambarawa untuk menghadapi serangan Belanda dari Semarang dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.
Saking karena jarang di rumah, Siti Hardijanti Rukmana, putri pertama mereka lahir pada 23 Januari 1949 ketika Soeharto bertugas. Meski sering terpisah jarak, keduanya membuktikan bahwa jalinan kasih yang mereka jalin tulus. Hubungan keduanya jarang diterpa kabar miring bahkan hingga Hartinah meninggal pada tanggal 28 April 1996 setelah 49 tahun mendampingi Soeharto.
Pengertian, kesetiaan, dan dedikasi Hartinah sebagai istri adalah keteladanan yang perlu ditiru anak muda masa kini. Terlepas dari kontroversi Soeharto sebagai presiden, ia berhasil mempertahankan rumah tangganya hingga maut memisahkan.
Suka dan duka dijalani Soeharto dan Siti Hartinah, bahkan sebelum Soeharto belum menjabat sebagai presiden, pun setelahnya. Keduanya bak dua sejoli yang memberi teladan bahwa apabila sudah berpasangan, maka keutuhan keluarga harus diperjuangkan bersama hingga akhir hayat mereka.